JAKARTA - Anies sudah dapat tiket untuk maju capres. Meski tiga partai yaitu Nasdem, Demokrat dan PKS belum secara bersama-sama deklarasi, tapi masing-masing anggota Koalisi Perubahan ini telah membuat pernyataan resmi mendukung Anies Rasyid Baswedan sebagai capres.
Nasdem deklarasi tanggal 3 oktober 2022, Demokrat mengumumkan dukungan resminya tanggal 26 Januari 2023 dan PKS tanggal 30 Januari 2023. Diskusi tim kecil dan penantian panjang publik terjawab sudah bahwa Anies akan maju dari Koalisi Perubahan.
Sesuai pasal 222 UU pemilu No 7 Tahun 20017, Anies telah memenuhi syarat untuk nyapres karena telah mengantongi lebih dari batas minimal Presidential Threshold yaitu 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara perolehan partai koalisi.
Perolehan suara Nasdem 9, 5 persen, Demokrat 7, 77 persen dan PKS 8, 21 persen. Total suara Koalisi Perubahan 25, 03 persen.
Kalau dilihat dari jumlah kursi di DPR, Nasdem 10, 26 persen, Demokrat 9, 39 persen dan PKS 8, 70 persen. Total 28, 35 persen.
Semua keraguan selama ini terkait pencapresan Anies telah terjawab bahwa Anies telah memenuhi syarat untuk maju di pilpres 2024 melalui Koalisi Perubahan. Pendukung Anies memenangkan pasar taruhan yang selama ini ditawarkan oleh para pendukung lawan.
Baca juga:
BPKK DPD PKS Pandeglang Peringati Hari Ibu
|
Untuk maju capres, Anies harus punya pasangan. Kapan pasangan Anies akan diumumkan dan siapa namanya? Ini yang masih menjadi teka teki dan membuat penasaran publik. Akan tetapi, sejak Demokrat umumkan dukungan resmi kepada Anies, urusan cawapres menjadi relatif mudah. Tiga partai solid dan kompak serahkan cawapres kepada Anies.
Mengacu pada pemilu-pemilu sebelumnya, cawapres biasanya muncul belakangan. Bahkan bisa H-1 pendaftaran. Masing-masing capres dan koalisinya saling memantau dan mengintip siapa yang akan dijadikan pasangan oleh lawan. Sebab, skema siapa berpasangan dengan siapa ikut mempengaruhi elektabilitas dan menentukan kemenangan.
Bagi Anies, selain faktor elektabilitas dan restu partai-partai dalam koalisi, cawapres harus orang yang punya pengalaman dan kemampuan. Inilah idealisme seorang akademisi tokoh seperti Anies. Bagi Anies, apa gunanya menang jika tidak bisa mengisi kemenangan itu dengan baik? Apa ginanya menang kalau tidak mampu membangun perubahan? Hanya sekedar ingin jadi penguasa, atau ingin membuat perubahan? Dua hal yang amat berbeda.
Memilih nama Koalisi Perubahan ada konsekuensinya. Apa yang mau diubah? Di sini rakyat punya ekpektasi yang tinggi dan akan menunggu janji perubahan itu. Janji perubahan tidak akan terwujud jika Anies tidak didukung oleh para teknokrat yang berpengalaman dan mumpuni.
Langkah perubahan harus diawali dengan memilih pasangan yang di mata publik diyakini mampu bekerja dan membuat perubahan itu. Bukan sekedar pasangan vote getter. Apalagi pasangan titipan partai, atau lebih parah lagi, titipan oligarki. Bukan pasangan yang hanya mengandalkan popularitas atau mampu menyediakan logistik. Di pilkada, pasangan semacam ini banyak terjadi. Setelah menang, kerjanya hanya bagi-bagi dan korupsi. Negara tersandera oleh popularitas dan modal mereka.
Di mata publik, pasangan yang siap kerja, juga memenuhi syarat elektabilitas dan berpeluang diterima oleh partai-partai Koalisi Perubahan adalah Khofifah. Selain punya integritas, Khofifah punya pengalaman cukup panjang di Pemerintahan. Khofifah pernah menjadi menteri Sosial dan Gubernur Jawa Timur. Mirip dengan Anies, menjadi Mendikbud dan Gubernur DKI. Keduanya tahu persoalan di pusat, dan memahami berbagai persoalan di daerah. Klop.
Jakarta, 3 Pebruari 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa