Tantangan Demokrasi Indonesia Menuju Pemilu 2024: Antara Politik Uang dan Politik Identitas

    Tantangan Demokrasi Indonesia Menuju Pemilu 2024: Antara Politik Uang dan Politik Identitas

    OPINI-Berlangsungnya demokrasi di bumi Indonesia sebagai negara dengan penduduk ke empat terbesar di dunia 275. 523. 615 jiwa setelah Amerika.

    Dengan berjalannya demokrasi di negara ini tentu tidak luput dari berbagai macam tantangan dimana negara Indonesia memiliki 1.331 kelompok suku dan 652 bahasa daerah. Kemajemukan tersebut bahwa Indonesia selalu mengajarkan kita tentang toleransi dan pluralisme melalui semboyan yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, dalam artian sederhananya adalah berbeda-beda namun tetap satu. 

    Nilai-nilai demokrasi Indonesia, mencakup pada aspek agama, dan pluralisme juga terkandung dalam dasar negara, Pancasila. Meski begitu, demokrasi di Indonesia yang begitu besar juga banyak mengalami pasang surut. Tantangan terbesar menuju pemilu 2024 adalah dengan menguatnya politik uang dan politik identitas.

    Praktiknya, fundamentalisme agama dan ekonomi sering kali melumat demokrasi. Penyingkiran warga negara karena alasan agama atau ekonomi mengindikasikan adanya sikap antidemokrasi. Tampaknya dua tantangan ini sering mencuat dalam berbagai perbincangan tentang dinamika demokrasi di Indonesia yaitu: Pertama, politik uang.

    Ada beberapa terminologi yang sering digunakan untuk term politik uang ini, seperti terminologi jual beli suara, klientelisme, dan patronase.

    Dalam praktik, politik uang tidak beroperasi dengan pola tunggal, tetapi selalu melibatkan berbagai faktor yang menentukan tempat. Transaksi ini tidak semata ditentukan oleh politisi, tetapi juga dapat didikte oleh pemilih. Pemilih akan didikte oleh kandidat bila posisi pemilih secara ekonomis dan kultural (kasta) lebih rendah atau mudah didominasi. 

    Dalam Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa kemiskinan di Indonesia per-september 2021 menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) mencapai 26, 5 juta jiwa dengan tingkat kemiskinan (9, 71%). Sementara itu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan ada 29, 45 juta jiwa belum memiliki rumah layak huni tahun 2021.

    Data ini menunjukkan bahwa dengan menguasai 55% pemilih yang nota bene miskin, seorang kandidat sudah bisa memenangi pemilih, sehingga tak terhindarkan terjadi modus jual beli suara di dalam situasi ini. Akan tetapi, pengalaman pemilu pada 2019 berbicara lain, yakni pemilih menentukan nominal uang yang dipertukarkan dalam rumah tangga.

    Bahkan, yang terjadi ialah ada calon legislatif bangkrut dan menjadi gila karena kehilangan begitu banyak modal. Rumit dan tidak mudahnya menelusuri politik uang ini membuatnya juga tidak mudah diakhiri. Luky Djani pernah membuat satu formula kalkulus jual beli suara ini sebagai berikut.

    Jual - beli Suara = Fungsi (Kondisi Ekonomi + Relasi {E+P+S} + Timing + Broker + Monitoring) - Kontrak

    Pada rumus di atas terlihat bahwa berbagai pergerakan politik uang selalu disertai minus kontrak. Semua kesepakatan dilakukan tidak tertulis, karena takut dan khawatir pada risiko hukum. Kekuatan uang dalam pengelolaan ruang publik membuat orang perlu mencermati lagi pernyataan Muhammad Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita, adalah sebuah teks yang tetap relevan sampai hari ini.

    Dalam teks tersebut Hatta mengatakan,  

    “ keperluan uang untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu.”

    Bagi Hatta, politik uang adalah ancaman serius terhadap demokrasi. Kedigdayaan politik uang ini menjungkirbalikkan berbagai ideal demokrasi, yang menekankan kerakyatan sebagaimana dikatakan Soekarno, atau daulat rakyat sebagaimana dikatakan Hatta. Politik uang merambah ke wilayah legislatif, eksekutif, maupun judikatif.

     

    Tantangan yang kedua, yaitu politik identitas. Politik identitas merupakan perjuangan menuntut keadilan dan hak-hak sebagai orang-orang yang terpinggirkan. L. A. Kauffman dari gerakan mahasiswa antikekerasan (Student Nonviolent Coordinating Committee) memandang bahwa politik identitas merupakan politik gerakan sosial kontemporer di abad ke-19 dan ke-20 hingga sekarang.

    Politik identitas merupakan ekspresi individual atau kolektif dalam kerangka hidup baik itu berkaitan dengan budaya, agama, seksualitas, bahkan sampai masuk pada gaya hidup. Jadi, politik identitas menyangkut seluruh kerangka hidup manusia. Ia menjadi kuat berpengaruh ketika identitas mengalami ketidakadilan dan dipinggirkan. Di sana politik identitas menjadi kuat berpengaruh untuk perjuangan melepas dari belenggu ketidakadilan.

    Di zaman sekarang ini, politik identitas juga dikaitkan dengan ekonomi, karena bagaimanapun manusia senantiasa mengharapkan dan mengakses kebutuhan materialnya selalu. Francis Fukuyama, dengan mengutp karya dari Plato, Republic, juga mengatakan bahwa keinginan manusia untuk diakui sebagai yang lebih besar dari yang lain (megalothymia) yang cenderung irasional harus dikontrol keinginan rasional atas pengakuan (isothymia). Pada titik ini , ruang publik demokrasi tumbuh, dan termasuk di dalamnya, demokrasi Indonesia  beroperasi.

     

    Akan tetapi, politik identitas yang dimaksud dalam konteks keindonesiaan kita dewasa ini tidak berada dalam pengertiannya. Di Amerika, misalnya, politik identitas dipakai oleh kelompok minoritas, baik itu kelompok feminis, Afro-Amerika, atau yang berbasis agama Islam atau Katolik, yang memperjuangkan haknya karena merasa diabaikan oleh kelompok mayoritas. Politik identitas menjadi perjuangan kelompok minoritas untuk mendapat pengakuan.

    Sementara di Indonesia dewasa ini, politik identitas lebih dipahami sebagai kelompok agama mayoritas dengan niat ingin menyingkirkan minoritas yang dianggapnya menyimpang atau menyeleweng.

    Dalam buku berjudul Ilusi Negara Islam-Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia yang diterbitkan bersama oleh Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Wahid Institute, dan Maarif Institute, secara gamblang melukiskan betapa sistematis pemakaian politik identitas guna meraih keuntungan bagi segelintir orang atau kelompok tertentu dan mengorbankan realitas bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

    Tetap percaya bahwa sistem demokrasi yang sehat dan kuat, akan membawa Indonesia pada cita-cita kemerdekaan. Gelombang politik identitas demi diri sendiri akan dihentikan oleh jiwa-jiwa dengan pikiran serta hati yang jernih dan tenang.

    Kebangkitan politik identitas di Indonesia pasca Soeharto menyebabkan pejalanan demokrasi di Indonesia selama dua dekade tidak berjalan maju ke arah demokrasi substansial.

    Demokrasi Indonesia pada akhirnya masih terjebak pada demokrasi prosedural yang hanya berkelindan soal urusan pemilu dan proses pergantian elit. Namun dalam praktik kehidupan warga negara masih belum menunjukkan kehidupan yang sangat demokratis.

    Berbagai kasus kekerasan dan intoleransi serta menguatnya sentimen identitas atas dasar etinisitas dan agama yang menimbulkan praktik diskriminasi dan pengeksklusian terhadap kelompok identitas lain yang berbeda. Hal ini membuat demokrasi kita mengalami regresi. Sebab demokrasi menghendaki adanya nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Nilai-nilai demokrasi ini terciderai oleh praktik-praktik politik uang.

    Olehnya lembaga organisasi pemuda, pelajar, termasuk juga organisasi kedaerahan dan keagamaan, merupakan sendi-sendi penting dalam membangun negara dan bangsa Indonesia dari politik identitas dan politik uang. Dewasa ini kekuatan media sosial (WhatsApp, Facebook, Tiktok, Twitter, Instagram, Messenger, dan lain sebagainya) membawa perubahan berarti pada ruang publik Indonesia, sekaligus menjadikan Demokrasi kita sebagi suatu ruang terbuka dan yang akan teruji dalam keseharian kita tentunya.

    Demokrasi Indonesia perlu dihidupkan dan dihidupi dengan pikiran terbuka serta hati yang tulus. Keterbukaan terhadap perubahan, sebagaimana keterbukaan terhadap perubahan lembaga negara sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan upaya bangsa untuk menuju praksis berdemokrasi yang lebih baik. Keterbukaan terhadap perubahan itu juga menjadi roh dan pondasi utama Demokrasi kita di Indonesia.

    Pemilihan umum 2024 kedepan merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat. Melalui asas Pemilu langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil ini, lebih jelaslah bahwa tujuan Pemilu serentak 2024 adalah untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang adil, memiliki integritas tinggi, jujur dan mengedepankan kepentingan masyarakat bukan memaksimalkan kepentingan diri sendiri.

    Oleh karenanya legitimasi kekuatan rakyat diserahkan sebagian kepada perwakilan yang duduk di parlemen ini dan kedepan. Begitu juga dalam pemilihan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota serta bupati dan wakil bupati yang merupakan sarana mengakomodasikan cita-cita masyarakat demi terciptanya kehidupan yang lebih baik.

    Salah satu yang menjadi hak mereka adalah memilih dan dipilih dalam pemilu baik di tingkat nasional maupun daerah melalui pemungutan suara yang berasaskan luber dan jurdil. 

    Pengetahuan mengenai politik identitas dan politik uang yang dilarang dalam pemilu menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh masyarakat indonesia untuk dapat tegas menolaknya. pengetahuan dan kesadaran akan bahaya politik identitas dan politik uang terhadap proses berjalannya demokrasi kita.

     Sebab demokrasi menghendaki adanya nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Nilai-nilai demokrasi ini terciderai oleh praktik politik identitas dan politik uang. Terimakasih.

    Moh. Taufik Abdullah, S.E., M.E

    Penggiat Demokrasi dan Peneliti di Institut Kajian Keuangan Negara dan Kebijakan Publik

    buol
    Rahmat Salakea

    Rahmat Salakea

    Artikel Sebelumnya

    Intip Teknologi Canggih Korlantas Pantau...

    Artikel Berikutnya

    Tanamkan Jiwa Nasionalisme, Polres Merauke...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVny Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    TV Parlemen Live Streaming
    Polri TV: Transparan - Informatif - Terpercaya
    Polda Jabar Berikan Piagam Penghargaan Untuk Polwan Berprestasi

    Ikuti Kami