JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Riyanta menyatakan dalam penanganan kejahatan mafia pertanahan dibutuhkan peningkatan sinergi antar kementerian dan lembaga untuk melakukan penilaian dan penyelesaian kasus tanah. Mengingat banyak terjadi kasus hukum terkait pertanahan. Lembaga tersebut diantaranya yakni antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri, dan Kantor Staf Presiden (KSP) dalam reforma agraria untuk menyelesaikan masalah pertanahan secara prinsip dasar negara hukum.
Demikian disampaikan politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu usai menerima audiensi dari sejumlah korban kejahatan mafia pertanahan dan sejumlah wartawan eks-media nasional dalam rangka menyampaikan beberapa keluhan terhadap berbagai penanganan persoalan tanah khususnya yang telah berproses di pihak BPN dan aparat kepolisian. Audiensi tersebut digelar di ruang kerja Riyanta, di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Baca juga:
Residivis 363 Kembali Ditangkap Polisi
|
“Tak dapat dipungkiri, kejahatan-kejahatan mafia tanah terindikasi melibatkan oknum-oknum lembaga tertentu. Jadi, mulai saat ini kita bersama-sama bekerja mengurai persoalan mafia tanah ini secara jernih agar bagaimana dapat mencari solusi sesuai dasar negara hukum. Tentu, dalam hal ini juga membutuhkan dukungan sinergitas dari seluruh elemen masyarakat seperti rekan-rekan pers dan aktivis serta lintas kementerian dan lembaga seperti BPN, Kejagung, Polri, dan KSP, ” ujar Riyanta.
Selain itu, Riyanta menegaskan dalam penuntasan kasus mafia pertanahan dibutuhkan rekonstruksi kembali pasal 17 Undang-Undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Menurut Riyanta, rekonstruksi tersebut merupakan hal yang sangat substantif dalam penyelesaian kejahatan pertanahan. Selama ini, pasal 17 UU 14 Tahun 2008 menjelaskan bahwa dokumen warkah atau dokumen yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tanah itu menjadi dokumen yang dikecualikan atau dianggap bukan dokumen publik.
Dalam ketentuannya, dokumen warkah itu yang memilikinya hanya pemilik sertifikat. Pasal tersebut, tandas Riyanta, berpotensi menjadi persoalan ketika dokumen warkah yang dijadikan dasar oleh pemohon sertifikat ternyata palsu atau dipalsukan. Semestinya, Riyanta mengusulkan warga negara yang lebih berhak secara hukum oleh UU diberikan suatu ruang untuk melihat dokumen warkah. Namun, disisi lain pihak yang memperoleh sertifikat dengan cara ilegal, terkesan dilindungi oleh hukum.
“Oleh karena itu, pasal 17 UU 14 Tahun 2008 harus dikonstruksikan kembali dengan jalan merevisinya. Jadi, ketika itu dibuka secara fair oleh badan yang menyelesaikan sengketa atau BPN atau aparat kepolisian maupun pengadilan. Adu data ini bisa dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi oleh negara, ” pungkas legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah III itu. (pun/sf)