SEJARAH - Di tengah hamparan sawah yang damai di Banyumas, pada 16 Mei 1894, lahirlah seorang anak bangsawan yang kelak akan menjadi tokoh penting dalam lembar sejarah bangsa Indonesia. Namanya: Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo. Ia bukan sekadar bagian dari garis keturunan ningrat yang agung, tetapi juga pewaris semangat perjuangan, karena dari darahnya mengalir keberanian Panglima Banyakwide—pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Namun, kehidupan tidak selalu semewah darah biru yang mengalir di nadinya. Margono menyebut keluarganya sebagai “bangsawan miskin.” Ia adalah anak keenam, dan satu-satunya yang selamat dari kematian dini yang menimpa saudara-saudaranya. Ayahnya bekerja sebagai pegawai rendahan kolonial Belanda. Dan dari sanalah, semangat untuk mandiri dan berbakti kepada tanah air mulai tumbuh.
Margono meniti pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar elite zaman Belanda. Ia kemudian melanjutkan ke OSVIA di Magelang, sekolah calon pegawai negeri untuk pribumi. Margono muda tumbuh cerdas dan jujur. Bagi dirinya, kejujuran dan integritas adalah prinsip yang tak bisa ditawar, bahkan dalam sistem kolonial.
Dari Meja Pemerintahan ke Jantung Ekonomi Bangsa
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa tak hanya memerlukan pejuang di medan perang, tapi juga pemikir dan penggerak ekonomi. Margono menjelma menjadi sosok penting di tengah situasi genting negara yang baru berdiri. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menunjuknya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dalam posisi tersebut, Margono memunculkan gagasan visioner: Indonesia harus memiliki bank sendiri. Ia tak ingin masa depan keuangan bangsa digantungkan pada warisan kolonial. Maka, pada 15 Juli 1946, lahirlah Bank Negara Indonesia (BNI)—bank milik rakyat Indonesia yang pertama. Margono menjadi direktur utama pertama dan karena itu, ia dikenang sebagai Bapak Perbankan Nasional.
Politik, Perdebatan, dan Integritas
Tak hanya di bidang ekonomi, Margono juga aktif dalam ranah politik. Pada tahun 1950-an, ia memperkenalkan konsep Hak Angket di DPR, sebuah mekanisme untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Sebagai ketua panitia angket pertama, ia memimpin penyelidikan devisa negara secara jujur dan kritis—sikap yang langka, bahkan hingga kini.
Warisan dan Keluarga Pejuang
Margono bukan hanya pejuang di ruang kerja, tetapi juga ayah yang mendidik anak-anaknya dengan semangat nasionalisme. Ia adalah ayah dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, begawan ekonomi Indonesia. Dua anaknya, Kapten Soebianto dan Taruna Soejono, gugur dalam Pertempuran Lengkong—tanda bahwa semangat juang keluarga ini tak sebatas kata-kata.
Cucu-cucunya pun dikenal luas. Di antaranya: Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, dan Hashim Djojohadikusumo, pengusaha dan filantropis. Margono mewariskan bukan hanya darah, tapi prinsip dan nilai luhur pada generasi penerusnya.
Warisan Nama dan Gagasan
R.M. Margono Djojohadikoesoemo meninggal dunia pada 25 Juli 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Banyumas. Namanya kini abadi, tak hanya dalam bentuk gedung di Universitas Gadjah Mada atau nama jalan di Jakarta, tetapi juga dalam gagasan dan sistem yang ia bangun sejak Indonesia masih tertatih menapaki kemerdekaannya.
Buku-buku memoar yang ia tulis—seperti Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman—adalah warisan pemikiran yang memperlihatkan kepiawaian Margono dalam memadukan kebijakan dan kebijaksanaan. Tidak heran, banyak yang menilai beliau layak dikenang sebagai Pahlawan Nasional.
Margono Djojohadikoesoemo bukan hanya bagian dari sejarah. Ia adalah penulisnya. Seorang pria bersahaja dari Banyumas, yang dengan gagasan dan keteguhan hati, ikut menyusun fondasi negeri yang kini kita pijak bersama.
Jakarta, 10 April 2025
Dr. Ir. Hendri, ST., MT
Jurnalis dan Akademisi, Founder of SolarBitSystems