Jujur aja, ini bukan pertama kalinya saya kena modus penipuan. Sudah berkali-kali data badan usaha saya dicoba dikirimkan oleh pihak-pihak yang entah dari mana asalnya. Ada yang lewat telepon, ada yang nyelonong lewat email, dan hari ini, datang lagi lewat WhatsApp. Polanya mirip, informasinya sama, nama perusahaan, NPWP, alamat lengkap, nama pemilik, nomor HP, sampai email. Seolah-olah mereka punya akses langsung ke database yang seharusnya cuma bisa dipegang oleh pemerintah.
Bermodalkan data tersebut penipu menghubungi para wajib pajak (WP) dengan mengatasnamakan Derektorat Jenderal Pajak (DJP), bagi orang awam pasti sudah ketakutan, tapi bagi yang paham sudah bisa memastikan itu penipuan, karena DJP jika ingin menghubungi wajib pajak pasti melalui surat resmi dari KPP setempat minimal melalui AR bukan langsung dari DJP pusat.
Kalau dipikir-pikir, ini mulai terasa sejak insiden PDN tumbang karena serangan hacker. Data kita bocor, dan entah dijual ke siapa saja. Yang bikin heran, kalau saya lihat strukturnya, ini mirip banget dengan data yang ada di OSS—sistem yang digunakan untuk registrasi perusahaan. Artinya, kebocoran ini bukan sekadar isapan jempol. Ini nyata. Kita semua adalah korban.
Dan yang lebih menyebalkan, seolah-olah nggak ada yang benar-benar peduli. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab malah adem ayem. Kominfo yang saat itu punya tugas menjaga keamanan data kita malah lalai. Lebih parahnya lagi, mantan menterinya yang gagal total itu bukannya kena sanksi, eh malah diangkat lagi jadi menteri! Luar biasa, kan? Rocky Gerung pernah bilang, “mengangkat orang gagal jadi menteri itu dungu.” Dan jujur, saya setuju.
Sekarang, Kominfo malah jadi lebih mirip ‘penjaga gerbang’ para bandar judi online. Kasusnya? Menguap begitu saja. Seperti nggak pernah terjadi apa-apa.
Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari negara yang bahkan nggak bisa melindungi data warganya sendiri? Kita punya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tapi ujung-ujungnya malah negara sendiri yang jadi pelanggar pertama. Ironis? Jelas.
Kalau sudah begini, siapa yang harus kita percaya? Atau lebih tepatnya, masihkah ada yang bisa dipercaya?