PEMERINTAHAN - Pernahkah kita duduk termenung sambil menyeruput kopi, memikirkan nasib negeri ini? Indonesia, dengan segala keruwetannya, kadang seperti sinetron tanpa ending. Drama ada di mana-mana, mulai dari layar TV hingga ruang sidang. Tapi di tengah hiruk-pikuk ini, ada satu hal yang terasa seperti jarum kecil menusuk hati: negeri ini, dengan segala kekayaannya, hanya butuh satu hal sederhana—pemimpin yang jujur dan berani.
Mari kita mulai dengan kejujuran. Ah, kata ini sering jadi bahan pidato para pejabat. "Kami berkomitmen untuk transparansi, " katanya. Tapi, transparansi yang mana? Yang tembus pandang kayak kaca mobil gelap? Rakyat tak butuh janji-janji manis, apalagi yang setengah matang. Kita butuh pemimpin yang berani berkata, "Ya, saya salah, " atau "Ini rencana kita, meski sulit, kita coba jalankan." Tapi jujur saja, seberapa sering kita dengar itu? Kalimat seperti itu lebih langka dari warkop di tengah gurun.
Lalu ada keberanian. Ini bukan soal berani tampil di panggung dengan sorotan kamera, apalagi berani nyengir meski kasus hukum mengintai. Keberanian yang dibutuhkan Indonesia adalah keberanian memutus rantai yang selama ini membelenggu. Bayangkan seorang pemimpin yang berani melawan tekanan dari kelompok tertentu, yang berani menolak amplop berisi 'tanda cinta', atau bahkan yang berani bilang, "Maaf, ini jalan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan partai." Wah, kalau yang seperti itu muncul, rakyat pasti rela mengusung karpet merah dari Sabang sampai Merauke.
Namun, mari kita jujur pada diri sendiri. Kita, rakyat Indonesia, kadang suka lupa memilih pemimpin seperti memilih buah di pasar. Yang dipilih sering yang kulitnya mulus, meski isinya bisa jadi busuk. Kenapa? Karena janji kampanye yang manis memang lebih menggoda daripada realita pahit. Kita lupa bahwa pemimpin yang jujur dan berani sering kali tidak populer. Mereka mungkin tak pandai mengucap slogan bombastis, tapi tindakannya nyata, meski kecil.
Baca juga:
Husairi Pimpin Apel Kesiapsiagaan Bencana
|
Sebagai bangsa, kita juga perlu keberanian untuk mendukung pemimpin seperti itu. Tidak lagi mudah terpesona oleh baliho raksasa, atau senyum ala model iklan pasta gigi. Kita harus lebih peduli pada rekam jejak, bukan sekadar janji-janji indah di atas kertas. Karena, pada akhirnya, Indonesia bukan sekadar soal kita hari ini, tapi soal masa depan anak cucu kita.
Jadi, wahai Indonesia, mari kita renungkan: apakah kita siap berhenti memanjakan diri dengan drama politik dan mulai mencari pemimpin yang sederhana, jujur, dan berani? Atau, kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama, seperti hamster yang tak henti-hentinya berlari di roda kecilnya?
Sambil menyeruput kopi terakhir, satu pertanyaan besar terlintas: jika pemimpin seperti itu muncul, apakah kita benar-benar siap menerimanya? Atau justru, kita takut menghadapi perubahan yang ia bawa? Ah, itu pertanyaan untuk esok hari. Sekarang, mari kita nikmati kopi ini, sambil tetap berharap. Bukankah berharap adalah hobi terbesar kita?
Jakarta, 21 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi